Selasa, 10 September 2013

Tiga Jari Menunjuk Kita
Herry Tjahjono    Terapis Budaya Perusahaan
KOMPAS, 10 September 2013

Budaya tuding adalah refleksi dari sikap hidup, kebiasaan, dan perilaku kehidupan yang antitanggung jawab. Artinya, ketika kehidupan menuntut tanggung jawab seseorang (sesuai status dan profesi masing-masing), ia cenderung menolak bertanggung jawab.

Budaya tuding ini khas Indonesia yang kontraproduktif. Lihatlah gejala budaya tuding itu dalam keseharian kita, di sekeliling kita, di negeri ini. Di kalangan pemimpin, pejabat baru menuding pendahulunya atau sebaliknya: sang pendahulu menuding penggantinya tidak becus. Pemerintah lama menuding pemerintah baru sebagai penyebab amburadulnya kehidupan berbangsa, demikian juga pemerintah baru menuding pemerintah lama punya kontribusi terhadap kondisi sekarang.
Prinsip manajemen suksesi yang baik menyebutkan bahwa aspek tanggung jawab itu saling terkait satu sama lain dalam dinamika organisasi, baik dari pemimpin pendahulu maupun penggantinya, karena memang tak mungkin dipisahkan. Pejabat yang antimundur, baik karena kesalahan maupun kegagalan, adalah refleksi dari budaya tuding yang halus dan bersifat tidak langsung.
Alasan yang dipakai dengan cara menuding atasannya: saya menunggu pemimpin, presiden, sebab kewenangan menentukan dirinya harus mundur berada pada pemimpin. Pemerintah saling tuding dengan DPR.
Ketika ada narapidana yang kepergok hidup pesta-pora dan bak raja di penjara, semua saling tuding: baik di antara petugas, pemimpin lembaga pemasyarakatan, maupun jajaran kementerian. Pendeknya, budaya tuding terjadi dan merajalela hampir di segenap dimensi, khususnya di kalangan pemimpin (nasional).
Pertanyaannya: mengapa budaya tuding ini sangat kuat dan kental mewarnai kehidupan berbangsa kita? Jawabannya ada pada pendidikan. Ya, pendidikan budaya tuding pada manusia Indonesia itu dimulai sejak masa kanak-kanak sampai dewasa. Manusia Indonesia terperangkap oleh lingkaran setan budaya tuding, sejak kecil sampai dewasa. Sederhananya, sejak kecil seorang anak telah dididik tidak mengenal tanggung jawab, menghindari tanggung jawab, dan menolak tanggung jawab.
Lihatlah seorang anak yang terjatuh. Orangtua akan mengalihkan tanggung jawab pada batu, lantai, bahkan pengasuhnya. Demikianlah proses pendidikan model budaya tuding itu berlangsung di setiap kesempatan, termasuk di sekolah dan perguruan tinggi.
Selain dialihkan ke obyek lain atau orang lain, orangtua juga sering mengambil alih langsung tanggung jawab, bahkan ketika kehidupan menuntut seorang anak belajar bertanggung jawab. Sekilas, orangtua bak pahlawan yang sanggup melindungi anak- anaknya. Sementara itu, sang anak akan mulai belajar berdiri meringkuk di belakang orangtua. Sejak itu seorang anak mengenal budaya tuding dalam hidupnya.
Selanjutnya ketika anak beranjak dewasa, kehidupan menyodorkan berbagai contoh kepemimpinan budaya tuding di segenap dimensi kepemimpinan. Dan, ia mulai belajar melakukan imitasi budaya tuding itu dari para pemimpinnya. Maka, demikianlah proses pendidikan budaya tuding itu berlangsung terus-menerus, melalui lingkaran setan budaya tuding yang tak pernah diputus mata rantainya.
Dua sindrom
Tentu saja pola pendidikan budaya tuding pada masa kanak-kanak itu akhirnya juga melahirkan para pemimpin yang sekarang memimpin bangsa. Lingkaran setan budaya tuding itu setidaknya menghasilkan dua sindrom yang memprihatinkan.
Pertama, sindrom kentut! Jika dalam kerumunan tiba-tiba ada suara atau bau kentut, setiap orang akan cenderung berteriak lantang: ”Bukan saya!” Itu sebabnya, sindrom kentut disebut juga ”sindrom bukan saya”. Ketika kesalahan terjadi, seseorang akan cepat berteriak: ”Itu bukan saya, itu bukan tanggung jawab saya.”
Kedua, sindrom tinggal glanggang colong playu. Sindrom ini membuat seseorang lebih memilih meninggalkan arena dan melarikan diri dari tanggung jawab, colong playu. Contoh paling menjijikkan dari sindrom ini adalah para koruptor yang melarikan diri, menutup-nutupi kesalahan kerabat atau koleganya.
Kedua sindrom inilah yang, sekali lagi, dominan menghiasi pentas kehidupan berbangsa, khususnya pentas kepemimpinan nasional. Katanya kita adalah bangsa yang besar, tetapi kita lupa bahwa sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang punya tanggung jawab, bangsa yang siap dan mampu bertanggung jawab. Semua itu dimulai dari segenap warganya yang punya tanggung jawab.
Kata Winston Churchill, ”The price of greatness is responsibility”. Sebuah bangsa besar ditentukan kebesaran para pemimpinnya dan juga kebesaran segenap warganya.
Siapakah yang wajib memutus mata rantai lingkaran setan budaya tuding itu? Paling mudah adalah dengan ”menuding” para pemimpin itu. Namun, dengan menuding para pemimpin yang berkewajiban memberantas budaya tuding, berarti kita sendiri berperan melestarikan budaya tuding. Soalnya, yang paling bertanggung jawab memutus lingkaran setan budaya tuding, ya, kita semua yang termasuk dalam kategori manusia dewasa Indonesia.
Dua tugas pokok kita sebagai manusia Indonesia dewasa. Pertama, mendidik anak-anak kita belajar bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan sikap dan perilakunya. Jangan lagi suka mengambil alih tanggung jawab anak dengan dalih ingin menjadi orangtua yang bertanggung jawab. Itu tak mendidik, tetapi menjerumuskan anak. Kelak anak akan jadi manusia kerdil.
Kedua, memilih dengan penuh tanggung jawab para pemimpin yang berlaga, baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional sesaat lagi. Kita wajib memilih para pemimpin yang tidak dihinggapi budaya tuding dalam rekam jejaknya. Kita wajib memilih dengan tanggung jawab yang total dan bulat, tidak asal nyoblos.

Saya jadi teringat kebijaksanaan lama yang mengajarkan: ketika kamu menuding orang lain dengan jari telunjukmu, pada saat itu ketiga jarimu yang lain menuding dirimu sendiri. ●  


Selasa, 13 Agustus 2013

KOMPAS, 6 AGUSTUS 2013
Herry Tjahjono, Terapis Budaya Perusahaan & Motivator Budaya, Jakarta. 

“ MANUSIA PEMALU “ 

Memasuki bulan ramadan, tingkat kehadiran anggota DPR di rapat paripurna semakin memprihatinkan. Untuk rapat paripurna dengan 7 agenda penting (misalnya : laporan Komisi XI DPR RI mengenai hasil pembahasan calon Deputi Gubernur Bank Indonesia, laporan Komisi I mengenai hasil Pembahasan Calon Anggota Komisi penyiaran Indonesia, Pengesahan pembentukan Pansus RUU tentang keuangan Negara, dan lainnya - 11/7/2013) – tercatat 240 anggota DPR yang absen. Pada bulan April lalu, 471 anggota DPR membolos rapat paripurna. Berita basi sekaligus menyebalkan! Basi, karena seringnya membolos. Menyebalkan, karena dikritik sepedas apapun mereka tetap ndablek ! Dan jangan lupa, perilaku membolos rapat itu hanya salah satu kebobrokan perilaku sebagian anggota DPR. Masih banyak perilaku lain yang tak kalah menyedihkan, seperti perilaku korupsi, tidak produktif padahal digaji mahal, hedonisme (pelesiran misalnya), dan lainnya.
Sementara saat-saat ini partai-partai politik sudah mulai sibuk belingsatan mengintip dan menyeleksi para caleg. Sebuah proses seleksi kepemimpinan politik sedang dipersiapkan habis-habisan, tanpa pernah mau peduli kualitas minus para calegnya selama ini. Selama ini rakyat menonton mereka, selama ini pula perilaku mereka berulang.
Perilaku para anggota DPR yang notabene para pemimpin bangsa itu berhubungan dengan kualitas keinsanian sebagai manusia. Kualitas keinsanian seorang manusia seharusnya semakin tinggi seiring tingginya status sosial mereka, seperti misalnya para pemimpin bangsa.
Kualitas keinsanian manusia atau pemimpin itu didasarkan pada dua pedoman hidup (dan kerja) yang saling terkait satu sama lain, yaitu pedoman : manfaat dan (rasa) malu. Pondasi dari konsep kualitas keinsanian itu adalah pernyataan Dr. Chaterine Roberts : “ Manusia, melalui pengetahuan keinsanian yang unggul bisa mengetahui apa arti menjadi seorang manusia, yaitu jika ia bisa memberikan sumbangsih atau manfaat pada kehidupan dan pekerjaannya. Dengan sumbangsih itu, ia seinsani-insaninya manusia, alangkah indahnya ! ”
Artinya, jika seseorang merasa malu jika tidak memberikan manfaat bagi kehidupan dan pekerjaannya, maka ia layak disebut manusia atau pemimpin yang insani. Namun jika sebaliknya, sama sekali tak merasa malu meski tak memberikan manfaat, maka ia kurang atau tidak insani. Baiklah kita kupas satu demi satu.
Pertama, manusia atau pemimpin besar (great people / leader). Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang memiliki tingkat kontribusi positif, optimal. Manusia atau pemimpin golongan ini sangat unik, karena mereka sangat mudah merasa malu, ambang rasa malunya sangat rendah. Jika sedikit saja tidak memberikan manfaat, ia buru-buru merasa malu.
Moral kerja dan hidup mereka adalah dengan selalu melekatkan makna di balik setiap pekerjaan atau apa yang dilakukannya. Mereka tidak mau menjadi parasit atau sekadar bekerja. Sedikit saja mereka tidak memberikan sumbangsih atau manfaat, mereka akan merona mukanya, merasa malu. Mereka selalu mencari tujuan yang lebih tinggi (higher purpose) dari setiap pekerjaan atau apapun yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Itulah yang mereka anggap sebagai makna dalam bekerja dan kehidupan. Dan sumbangsih atau manfaat itu sendiri dianggap sebagai salah satu makna terluhur dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan.
Itu sebabnya manusia golongan ini selalu memberikan sumbangsih atau manfaat maksimal, optimal, jauh melebihi apa yang mereka dapatkan. Mereka adalah manusia yang berbuah, bagi pekerjaan dan kehidupan. Dan mereka inilah yang disebut manusia atau pemimpin yang insaniah. Semakin mudah malu dan besar manfaatnya, semakin insaniah mereka.
Kedua, manusia atau pemimpin buruk (bad people / leader). Orang-orang ini mempunyai ambang rasa malu yang (sangat) tinggi, bergerak dari titik : susah merasa malu sampai tidak punya malu. Ambang rasa malu yang tinggi itu juga terkait dengan sumbangsih atau manfaat bagi hidup dan pekerjaan mereka. Tegasnya, mereka tak mudah malu atau bahkan tak punya malu jika tidak memberikan manfaat (sumbangsih) sama sekali bagi hidup dan pekerjaannya.
Golongan ini biasanya memiliki tingkat kontribusi nihil atau minus. Moral hidup dan kerja mereka berkebalikan dengan para manusia atau pemimpin besar. Moral hidup mereka adalah justru kehidupan dan pekerjaan itulah yang harus memberikan manfaat bagi dirinya. Maka biasanya pula, manusia atau pemimpin buruk ini tak lebih dari parasit, benalu kehidupan.
Bahkan ketika mereka menjadi parasit bagi kehidupan dan pekerjaannya, rasa malunya juga lenyap. Bagi mereka, bukan mereka yang harus melekatkan makna terhadap hidup dan pekerjaan, melainkan sebaliknya : hidup dan pekerjaanlah yang harus memberikan makna bagi mereka. Itu sebabnya mereka sering disebut manusia tak bermakna, manusia tanpa makna. Mereka tak pernah mencari tujuan lebih tinggi dari kehidupan dan pekerjaannya. Dan mereka termasuk manusia atau pemimpin yang kurang dan bahkan tidak insaniah.
Maka secara sederhana bisa disimpulkan : manusia atau pemimpin yang tidak insaniah identik dengan manusia tanpa makna, tanpa manfaat, dan tanpa malu. Apa yang bisa diharapkan dari manusia atau pemimpin semacam itu ? Kini kita bisa menilai sendiri, termasuk golongan manakah para anggota DPR yang dimaksudkan di atas. Dan dengan kasat mata pula kita bisa menilai para pemimpin bangsa ini di dimensi lainnya : eksekutif maupun yudikatif.
Mengingat itu semua, saya jadi teringat ucapan Buya Hamka berikut : ” Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja ! “ Tiba-tiba saya ingin belajar jadi manusia pemalu, asal bermanfaat bagi kehidupan dan pekerjaan saya.


***

Rabu, 10 April 2013

Jangan melihat dari mana seseorang berasal, tapi perhatikan saja ke mana dia akan pergi ! (Buat siapapun yang terus mengelola harapan).

Senin, 08 April 2013

KOMPAS CETAK Sabtu, 06 April 2013
Kepemimpinan Orang Kalah 
Herry Tjahjono

Secara psikologis, kepemimpinan nasional saat ini bernilai historis-psikologis yang spesifik. Kisah dimulai sekitar sembilan tahun lalu tatkala kita sebagai rakyat dan bangsa demikian menikmati fenomena "psikologi orang-orang kalah".

Kala itu, ada dinamika psikologis ketersingkiran dan keterpentalan SBY dari kabinet Megawati akibat "perseteruannya" dengan Megawati (plus Taufiq Kiemas). Bahkan, Taufiq Kiemas waktu itu sempat menyindirnya (Menko Polkam) sebagai jenderal yang "kayak anak kecil". Dinamika itu membuat posisi psikologis SBY berada di area marjinal, terpinggirkan, menjadi korban.

Sesuai dengan hukum psikologi orang-orang kalah, sosok yang dikuyo-kuyo dan terkalahkan itu justru akan mendapat magnet simpati dan dukungan moral yang luar biasa dari rakyat. Maka, psikologi orang kalah menunjukkan tuahnya, rakyat dikuasai kecenderungan bawah sadarnya selalu memihak, mendukung, dan memberi simpati kepada figur-figur yang "dianiaya, disakiti, dipinggirkan".

Substansi psikologisnya memprihatinkan sebab dinamika itu sesungguhnya merupakan refleksi kondisi rakyat sendiri yang secara de facto senantiasa tersakiti, terpinggirkan, teraniaya, menjadi korban. Ini menjadi sangat manusiawi ketika manusia cenderung bersatu, mengumpul, dan menggerombol dengan figur yang senasib. Sebuah identifikasi diri (rakyat) yang menderita terhadap sosok SBY (2004). Inilah bentuk nyata masokisme intelektual yang nyata terjadi pada rakyat.

Tersakiti, menderita, terpinggirkan lalu mencari kenikmatan dan kenyamanan (kompensasi) pada figur atau sosok lain yang dianggap senasib dengan harapan ada sedikit penyaluran yang melegakan dan meringankan beban penderitaan. Sesungguhnya Megawati sendiri adalah sosok yang tersakiti di era Soeharto dan ia mendapat manfaat serta tuah dari hukum psikologi orang kalah dalam bentuk simpati dan dukungan massa yang luar biasa.

Sebagai catatan kontekstual, Jokowi juga sosok yang mendapat manfaat dan tuah psikologi orang kalah ketika ia "dikeroyok, disakiti" oleh partai-partai politik lawannya, atau isu-isu SARA, ser- ta kampanye hitam lainnya. Tuah psikologi orang kalah membuatnya mampu menjungkalkan Foke. Tak luput pula sosok Anas, terlepas dari status tersangkanya oleh KPK, yang justru saat ini menjadi sosok orang kalah yang sedang mendapat tuah psikologi orang kalah akibat perlakuan Partai Demokrat, dan SBY khususnya, terhadap dirinya.

Kembali ke sosok SBY. Ketika tuah psikologi orang kalah mengantarkannya ke kursi RI-1, sadar atau tidak, sebagai pemimpin ia tetap menempatkan dirinya sebagai orang kalah. Maka, gaya kepemimpinannya adalah kepemimpinan orang kalah. Nyaris semua ekspresi kepemimpinannya adalah kepemimpinan orang kalah (baca: pemimpin yang dikuasai sindrom orang kalah dengan menempatkan diri sebagai sosok yang dianiaya, sebagai orang kalah).

Beberapa contoh ekspresi itu: merasa jadi target, bekerja keras setengah mati, tetapi soal gaji saja masih disalahpahami, ada yang mau menggulingkan kekuasaannya, reaktif, dan seterusnya sampai wacana terakhir soal ucapannya (tudingannya) bahwa ada sekelompok elite dan orang yang ingin membuat onar dan mengganggu pemerintahannya. Intinya, sebagai pemimpin ia merasa disakiti, dianiaya, dan menjadi korban. Itulah tipikal kepemimpinan orang kalah.

Tidak jadi besar

Gaya kepemimpinan orang kalah tidak pernah membuat seorang pemimpin menjadi besar. Dia hanya akan jadi pemimpin rata-rata saja. Ada tiga hukum dasar (ke)pemimpin(an) besar yang berseberangan dengan kepemimpinan orang kalah ala SBY.

Pertama, kepemimpinan besar tidak memberi ruang bagi praktik kepemimpinan orang kalah sebab gaya kepemimpinan orang kalah sangat bertentangan dengan hukum dasar kepemimpinan besar: melayani. Secara praksis kepemimpinan melayani adalah menjadi orang yang mengalah, bukan orang yang kalah.

Pemimpin (orang) yang kalah dikuasai sindrom orang kalah, tetapi sesungguhnya ingin menaklukkan orang lain. Sementara pemimpin (orang) yang mengalah adalah orang yang justru telah menaklukkan dirinya sendiri dan tak pernah merasa perlu menaklukkan orang lain.

Kedua, kepemimpinan besar bukanlah reaktif, melainkan proaktif. Pemimpin reaktif terlalu dikuasai perasaan dan stimulus dari luar dalam memimpin. Sementara pemimpin proaktif lebih merdeka dan bebas serta mendasarkan diri pada nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kebenaran universal dalam memimpin.

Ketiga, pemimpin besar selalu mendahulukan orang lain, bukannya minta didahulukan. Kisah ilustratif dari Umar bin Khattab berikut ini sangat menginspirasi. Konon Utbah bin Farqad, gubernur Azerbaijan di bawah pemerintahan Umar bin Khattab, mempersembahkan makanan terlezat kepada Umar bin Khattab, yang disebut habish, terbuat dari buah kurma dan minyak samin. Habish itu sesungguhnya adalah makanan yang dibuat oleh rakyat.

Umar mencicipinya dan bertanya apa nama makanan yang lezat itu. Setelah dijawab bahwa itu makanan terlezat di Azerbaijan dan namanya habish, Umar bertanya, "Baiklah, apakah seluruh rakyat di Azerbaijan sudah bisa menikmati makanan lezat ini?" Ketika dijawab bahwa tidak semua rakyat bisa menikmatinya, marahlah Umar.

Ia segera meminta utusan Gubernur Farqad membawa pulang habish itu ke Azerbaijan dan menitipkan surat kepada Gubernur Farqad: "Gubernur Farqad, makanan terlezat ini tidaklah dibuat dari uang ayah atau ibumu. Maka, kenyangkan dulu perut rakyatmu dengan habish ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu sendiri."

Kepanikan SBY belakangan ini justru melegitimasi muara kepemimpinan selama ini sebagai "ke(pemimpin)an orang kalah" dan bukannya "ke(pemimpin)an orang mengalah" yang menjadi dasar dari kepemimpinan melayani.

Sesungguhnya boleh saja kita menjadi pemimpin karena tuah psikologi orang kalah, tetapi ketika sudah naik menjadi pemimpin, sebaiknya kita menjadi pemimpin yang mengalah, bukan pemimpin kalah.

Herry Tjahjono Terapis Budaya Perusahaan dan Motivator Budaya

Rabu, 15 Agustus 2012

MANUSIA MATAHARI (Bekerja Saja Tidak Cukup !)
Terbit awal Oktober 2012

" Semua manusia sesungguhnya adalah KARYAWAN, manusia yang seharusnya melahirkan KARYA dari kegiatannya."

(Cuplikan buku MANUSIA MATAHARI ! Tertarik...? Dalam buku itu dijabarkan cara-cara melahirkan KARYA sesuai status & profesi setiap manusia.)

Selasa, 14 Agustus 2012

MANUSIA MATAHARI (Bekerja Saja Tidak Cukup !)
Terbit awal Oktober 2012 :


Ada 4 jenis manusia : Manusia Jurang, Manusia Bukit, Manusia Puncak Gunung, dan Manusia Matahari ! Manusia Jurang hanya jadi beban bagi kehidupan, sedangkan Manusia Matahari jadi sumber bagi kehidupan. Di antaranya ada Manusia Bukit dan Manusia Puncak Gunung....! Banyak ciri spesifik yang membedakan ke 4jenis manusia tersebut. Langkah pertama : mapping diri Anda, termasuk yang manakah diri Anda..?

(Cuplikan Buku MANUSIA MATAHARI )
MANUSIA MATAHARI (Bekerja Saja Tidak Cukup !)

Terbit awal Oktober 2012 !!!!!

Buku ke 11 telah siap diluncurkan - judulnya : MANUSIA MATAHARI (Bekerja Saja Tidak Cukup !) -  targetnya awal oktober 2012 sudah bisa terbit. Semoga demikian adanya, sebab tanpa saya duga......ketika "iseng" saya tawarkan preorder sejak seminggu lalu...weleh..weleh...thanks God (U R THE BEST)...response para sahabat mengejutkan...sampai kini telah masuk preorder hampir 500 exemplar. Mohon doa restunya sahabat-sahabatku !