Jumat, 31 Desember 2010

Hanya Satu Kata: Indonesia!

KOMPAS
Jumat, 31 Desember 2010 | 05:27 WIB

Hanya Satu Kata: Indonesia!
oleh:HERRY TJAHJONO

Final Piala AFF, Indonesia melawan Malaysia, sungguh bermakna sebab dalam konteks relasi bilateral dengan mereka selama ini kita telah kalah.
Berbagai kasus tenaga kerja kita di Malaysia dengan segenap penderitaan mereka, sikap arogan Malaysia dalam banyak kasus, soal perbatasan, dan pencaplokan simbol budaya menunjukkan kekalahan kita sebagai bangsa.
Pada saat yang sama kita mengimpor habis dari Malaysia berbagai bisnis jasa: telekomunikasi, rumah sakit, sampai bank. Bangsa kita mayoritas cuma jadi karyawan biasa. Kita bukan tuan di negeri sendiri. Di Malaysia kita jadi kuli. Di negeri sendiri kita juga kuli. Martabat bangsa pecundang telah tercerabut.
Dalam ilmu ekologi ada semacam aksioma: ekosistem yang canggih akan mengeksploitasi ekosistem yang sederhana. Negara maju akan memeras negara miskin. Dan itulah yang terjadi, saudara muda yang licik, tapi lebih kaya itu memecundangi kita. Padahal, dalam dasawarsa 1970-an hingga 1980-an mereka mengimpor guru dari Indonesia. Dalam soal teroris, Malaysia justru mengekspornya ke Indonesia, dan malah tidak meneror negerinya sendiri.

Psikologi pecundang
Kita bodoh sekaligus picik. Kita babat sendiri energi klimaks yang terpendam dalam diri setiap pemain. Kita terlampau percaya diri, heboh dan bodoh mengeksploitasi sendiri para pemain nasional: ada yang mengusung agenda politik, semuanya bermuara pada sensasi dan kepentingan diri dan kelompok.
Berbagai kekalahan TKI di sana merupakan pucuk gunung es dari kekalahan kita sebagai bangsa. Selama ini kita sebagai rakyat adalah manusia yang kalah bahkan di negeri sendiri.
Selama para pemimpin, politisi, orang kaya, koruptor, aparat pemerintah, petinggi institusi cacat moral terus memainkan psikologi orang kalah dengan cara selalu berebut jadi pemenang dan tanpa nurani mengorbankan rakyat untuk jadi pecundang, psikologi orang kalah akan tetap jadi sindroma bangsa. Selama itu pula kita tetap jadi bangsa bodoh dan pecundang.

Psikologi kebangkitan
Karena itu, final Piala AFF merupakan momentum psikologi kebangkitan bangsa Indonesia. Ada beberapa perspektif kebangkitan yang perlu dibahas. Pertama, kekalahan kesebelasan Indonesia dari kesebelasan Malaysia bukanlah kekalahan kesebelasan itu sendiri, melainkan kekalahan para pemimpin, oportunis politik-ekonomi, penumpang gelap versi Effendi Gazali, atau siapa pun kita masing-masing yang suka mengeksploitasi sesama bangsa.
Kedua, sindroma bangsa akibat psikologi orang kalah membuat kita jadi bangsa yang malas mengekspresikan segenap kemampuan manusiawi terbaik. Dalam konteks ini kesebelasan nasional kita sesungguhnya pemenang sejati. Pada putaran kedua mereka mencapai pengalaman puncak sebagai ciri sebuah proses aktualisasi diri. Mengadaptasi Maslow, aktualisasi diri akan membuat manusia mencapai pengalaman puncak. Bayangkan, putaran pertama kalah 0-3. Putaran kedua kemasukan duluan 0-1. Bagi orang kebanyakan, itu masa depan suram. Namun, mereka tetap mengaktualisasikan diri sedemikian sempurna di lapangan dan membalikkan keadaan jadi menang 2–1.
Saat itu menang atau kalah tak lagi esensial. Yang lebih esensial adalah bagaimana mereka bersedia memberi serta melakukan yang terbaik dari segenap bakat dan kapasitas yang dimiliki. Dengan kinerja terbaik mereka di putaran kedua, para pemain sesungguhnya telah menjadi juara sejati. Piala tak lebih dari bonus.
Ketiga, lihatlah puluhan ribu bahkan jutaan penonton kita. Itu sungguh menggetarkan nurani, tatkala jutaan manusia berbagai suku, agama, ras, dan golongan bisa bertemu menyatukan hasrat dengan tertib hanya untuk berteriak: ”Indonesia!”
Akhirnya kita perlu bertanya: mengapa para pemain kita mampu mengaktualisasikan diri sedemikian baik dan jutaan penonton mampu berperilaku demikian menggetarkan? Hanya ada dua penjelasan. Pertama, dahaga panjang untuk bangkit dan bebas dari perasaan sebagai manusia pecundang. Semua itu bukan sekadar soal haus akan kemenangan atau juara belaka. Namun, dahaga mengembalikan martabat bangsanya.
Kedua, rasa cinta terhadap bangsa dan negaranya yang demikian tulus dan menggelora. Memang hanya cinta itu yang tersisa dalam diri mereka. Hanya cinta sehingga pemain dan penonton tetap bersedia memberikan yang terbaik di tengah keterpurukan martabat.
Para pemain dan puluhan ribu penonton itu sudah selangkah di depan pemimpinnya meneriakkan satu kata: Indonesia! Garuda itu telah terbang tinggi.

HERRY TJAHJONO Terapis Budaya Perusahaan dan Sumber Daya Manusia

Kamis, 18 November 2010

SAAT MEMULAI SUKSES

The Mirror : SAAT MEMULAI SUKSES

Kolonel Sanders memulai dan sukses dg KFC di usia kakek-kakek. Lincoln jadi presiden di atas 50 tahun. Banyak dari kita, ketika menapak senja dan merasa "belum jadi apa-apa", menjadi rendah diri dan berat melangkah. MEMULAI SUKSES - ternyata: Bisa dimulai di penggalan usia berapapun, bahkan setahun menjelang ajal sekalipun. Tuhan memberikan hak sepenuhnya pada kita untuk memilihnya.

Selasa, 16 November 2010

JEMARI MENUNJUK BULAN

The Mirror : JEMARI MENUNJUK BULAN

Kenapa banyak manusia tertekan dan kebingungan?Karena mereka tak sampai di tempat sesungguhnya,padahal sudah habis melangkah.Banyak yang salah jalan, banyak yang keliru menentukan jalan.Bak jemari menunjuk bulan!Seharusnya mata melihat bulan,tapi justru memelototi jarinya sendiri.Ia kehilangan sang bulan,dgn segenap kekayaan dan keindahannya.Ubahlah pandangan matamu, sekarang juga.

MENYEDOT SUSU IBU PERTIWI

The Mirror : MENYEDOT SUSU IBU PERTIWI

Tanpa bencana alam beruntun pun, negeri ini akan "habis" dengan sendirinya. Karena sedikit sekali dari kita, apalagi para pemimpin, yang paham pesan dahsyat JFK : Jangan tanya apa yang bisa diberikan negara padamu, tapi tanyakan dulu - apa yang bisa kauberikan pada negaramu. Kita h...anya bisa meminta, mengambil, menyedot susu dan madu ibu pertiwi. Sebentar lagi juga habis !

Sabtu, 13 November 2010

MEMAHAMI HUKUM SYUKUR

The Mirror : MEMAHAMI HUKUM SYUKUR

Siapa memahami hukum SYUKUR, luar dalam hidupnya akan MAKMUR. Ketika Anda dihadapkan 2 kondisi : suatu saat gaji Anda naik 5 %, lain waktu 20 %, satu kali dipuji tapi selanjutnya dimaki, dapat rejeki 10 ribu rupiah dan lain waktu 100 juta...lalu Anda dapat mensyukuri semuanya itu dengan KADAR yang sama ...artinya : Anda telah paham hukum syukur !

Kamis, 11 November 2010

NERACA KEDEWASAAN JIWA

The Mirror : NERACA KEDEWASAAN JIWA

Mau SUKSES SEJATI ? Ukur dulu kedewasaan JIWA Anda. Caranya : hidup Anda sudah lebih banyak ditandai oleh 'ME" daripada "DI". Misalnya : lebih banyak MEmberi drpd DIberi, MEnolong drpd DItolong, MEncintai drpd DIcintai, MEngampuni drpd DIampuni...! Silakan tengok neraca kedewasaan JIWA Anda, sebab di sana Tuhan sering bersemayam.

Rabu, 10 November 2010

The Mirrror : CUKUP SEBUAH SENYUMAN


Kehidupan itu tergantung kita,bukan sebaliknya.Cobalah tersenyum, maka orang yang bersua Anda akan balas tersenyum, demikian juga segenap kehidupan di sekitar Anda.Cobalah memuji, maka kehidupan akan balik memuji Anda. Cobalah memaki, kehidupan akan mencerca Anda lebih hebat.Cobalah m...emberi, kehidupan akan mengguyur Anda lebih banyak lagi.Sesederhana itu,cobalah kalau tak percaya.

Minggu, 07 November 2010

The Mirror : BUKAN SIAPA-SIAPA YANG TERBAIK

The Mirror : BUKAN SIAPA-SIAPA YANG TERBAIK

Kalaupun Anda saat ini cuma jadi OB,jadilah OB terbaik.Kalaupun jadi presiden, jadilah presiden terbaik. Kalaupun jadi CEO,jadilah CEO terbaik. Kalaupun jadi bapak,jadilah bapak terbaik.Bahkan kalaupun Anda saat ini "bukan siapa-siapa",jadilah "bukan siapa-siapa" yang terbai...k.Kehidupan hanya menyediakan tempat bagi mereka yang TERBAIK - SAAT INI !

The Mirror : CINTA YANG FINAL

The Mirror : CINTA YANG FINAL

Cinta Tuhan itu FINAL ! Kebaikanmu tidak akan menambah cintaNYA kepadamu, sebaliknya - kejahatanmu tidak akan mengurangi cintaNYA kepadamu ! Karena itu berhati-hatilah dengan cinta Tuhan kepadamu.

Sabtu, 06 November 2010

Ada Cinta di Balik Merapi

Letusan Merapi mengajarkan banyak hal kepada kita. Mbah Maridjan sudah banyak diulas dan secara personifikasi: hampir semua wacana terkait Merapi bermuara pada sosok fenomenal itu. Namun, sesungguhnya Merapi menyelipkan sebuah pesan luar biasa luhur yang perlu dijadikan pelajaran oleh bangsa ini keseluruhan.
Pesan itu terselip pada para petugas pengamatan Gunung Merapi. Mereka bak kapten kapal yang tenggelam. Meski tahu tak ada yang bisa dicegah, para petugas itu pantang turun hingga detik terakhir. Bahkan, mereka tidak turun sama sekali. Ancaman awan panas bersuhu 600 derajat celsius dengan kecepatan 200 kilometer per jam yang sewaktu-waktu bisa menerjang ke arah mereka seolah tak dihiraukan. Jika itu terjadi, dipastikan akan sangat sedikit waktu untuk mengelak (Kompas , 2/ 11).
Salah satu dari mereka adalah Triyono yang sudah bertugas selama 20 tahun di pos yang hanya berjarak tujuh kilometer dari puncak Merapi, padahal instansi berwenang menetapkan radius bahaya primer Merapi minimal 10 kilometer. Takut? Triyono dengan jujur bilang bahw aia takut, tetapi ia tetap menjalankan tugasnya mengengkol sirene zaman Belanda selama dua jam untuk memperingati warga, selain tugas-tugas berat lainnya.
Kehidupan luhur
Triyono dan kawan-kawannya merupakan pelajaran kehidupan luhur di balik Merapi. Ada tiga tingkatan manusia dalam menjalani tugas kehidupannya. Pertama, manusia yang menerima dan menjalani tugas kehidupannya sebagai kewajiban. Mekanisme kerjanya dilandasi oleh prinsip penawaran diri, transaksional. Artinya, seseorang menawarkan dirinya melakukan tawar-menawar sehingga usaha, kerja, dan kinerjanya selalu dihubungkan dengan seberapa besar hasil atau kusala yang ia dapatkan.
Orang-orang transaksional yang memandang tugas sebagai kewajiban ini biasanya akan lari dari tanggung jawab jika menghadapi risiko atau bahaya. Atau, ia akan mencari penghasilan lain (dengan cara apa pun) jika dirasakannya penghargaan lebih kecil dari tugas dan risiko yang diemban, atau yang paling ringan adalah mereka menjalankan tugas seadanya, ala kadarnya.
Pejabat yang sembunyi di balik punggung atasannya, menteri yang berondok di balik ketiak presiden, atau mereka yang harfiah melarikan diri, para koruptor, sampai petugas kereta api yang bekerja seadanya sehingga menyebabkan kecelakaan adalah contoh-contoh manusia transaksional tersebut.
Kedua, manusia yang menjalankan tugas kehidupannya sebagai amanah dilandasi oleh prinsip pengabdian diri, moral. Orang-orang ini akan melakukan tugasnya dengan semangat pelayanan. Implikasi dari prinsip tersebut membuat seseorang bekerja dengan asas kepatuhan. Sebesar apa pun risikonya, ia akan menjalankan tugas kehidupannya dengan taat.
Orang-orang amanah ini setingkat di atas mereka yang transaksional. Mereka biasanya tetap menjalankan tugas dengan patuh dan sebaik-baiknya, sesuai dengan target yang dilekatkan kepadanya meski mungkin gaji atau hasil yang diterima kecil dan tak sebanding dengan besarnya tugas yang diemban. Triyono dan kawan-kawan sudah jelas di tahap ini, seperti yang dikatakan oleh teman Triyono yang bernama Yulianto—tugas penting untuk memberikan informasi kepada masyarakat ini dianggap sebagai amanah yang harus dijalankan—sebagai petugas pengamatan.
Namun, apakah benar Triyono, Yulianto, dan yang lainnya itu berhenti pada tataran pengabdian diri, prinsip moral semata? Sepintas memang demikian, tetapi mungkin jika diteliti lebih jauh, mereka sesungguhnya sudah menapak pada tataran tertinggi.
Ketiga, manusia yang menjalankan tugas kehidupannya sebagai sebuah cinta, dilandasi oleh prinsip penyerahan diri. Tugas itu seberapa apa pun dan berisiko akan diterima, digeluti, dan dijalankan dengan cinta. Orang-orang ini bukan hanya menjalankan semuanya karena kepatuhan (apalagi kewajiban) lalu mengerjakan sebaik-baiknya sesuai target. Bukan! Mereka menjalankannya karena mencintai tugas itu, mencintai siapa pun yang mereka layani atau penikmat hasil ker - janya. Mereka bekerja melampaui kewajiban mereka.
Mereka tidak hanya bekerja ”sekadar” memenuhi target yang dibebankan, tetapi bahkan melebihi target-target tersebut meski tak pernah diminta atau diawasi sekalipun. Bahkan mereka ”m e ny e r a h k a n d i r i ny a ” untuk tugas itu, untuk mereka yang menikmati hasil kerjanya. Triyono dan kawan-kawannya tampaknya sudah berada di tataran ini sebab sudah rela ”menyerahkan dirinya” untuk tugas itu. Risiko kehilangan nyawa pun mereka terima. Ini bukan lagi soal kepepet takut kehilangan pekerjaan mengingat gaji yang mereka terima tidaklah sebanding dengan risiko yang dihadapi.
Negara tak hadir
Jangan lupa pula, kemerdekaan negeri tercinta ini bisa diraih hanya karena banyaknya manusia Nusantara yang menjalankan tugas (baca: berjuang) dengan prinsip cinta, penyerahan diri kepada perjuangan itu sendiri dan Tanah Air.
Ada cinta di balik Merapi, ada pelajaran berharga bagi bangsa ini: kebesaran dan kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh tinggi rendahnya jabatan, gaji, atau hasil yang diterima atau popularitas karena cinta dan penyerahan diri itu sendiri menyapa siapa pun manusia tanpa memandang atribut, tergantung apakah kita mau menerima dan menjalaninya atau tidak.
Dan itu terlihat nyata pada sosok Triyono dan kawan-kawan yang secara atribut hanyalah para ”manusia kecil”. Sementara itu, para pemimpin kita secara statistik sebagian besar merupakan manusia transaksional, sebagian kecil merupakan manusia amanah, dan hanya hitungan jari sebagai manusia cinta.
Jadi, bagaimana kita bisa menjadi bangsa besar?
Ada cinta di balik Merapi—daripada menunggu para pemimpin, sebaiknya kita mulai saja dari diri kita masing-masing— dengan mencintai apa yang jadi tugas kita, atau apa yang ada di genggaman tangan kita saat ini.
Apalagi jika negara tidak lagi hadir di tengah kita seperti yang nyata terlihat di Wasior, Mentawai, dan kawasan sekitar Gunung Merapi saat ini.

Rabu, 03 November 2010

The Mirror : TENTANG MAHLUK HAWA

Mahluk hawa lebih bangga disebut "WANITA".Ada wanita karir, wanita pengusaha, dst.Padahal wanita artinya: ateges wani ditata (maunya diatur-atur), mengingkari napas emansipasi. Banyak yang risih diisebut "PEREMPUAN", katanya terlalu klasik (jadul).Padahal, perempuan itu dari kata EMPU, y...ang artinya dituakan. Implikasinya, harus dituakan itu..ya dihormati, dijunjung,..DAHSYAT! Nah loo

Selasa, 02 November 2010

MENJADI MANUSIA BEBAS

The Mirror :
MENJADI MANUSIA BEBAS
Orang bangga jika mampu memenuhi target yang diberikan kepadanya. Padahal orang yang dibatasi target yang ditetapkan, bukanlah manusia bebas. Maka jadilah manusia bebas merdeka, dengan melakukan segala sesuatu melebihi target yang ditetapkan pada Anda, diminta atau tidak. Manusia besar..., adalah mereka yang bebas dari target-target yang dilekatkan kepadanya!(HT, Kompas,3 Januari 2009)

Senin, 01 November 2010

The Mirror : MANUSIA-MANUSIA GIPS

W.James: Manusia usia separuh baya ke atas,akan seperti gips. Sulit melunak, sulit berubah. Yang baik akan tetap baik, yang jelek akan tetap jelek (note:hanya nilai diri luhur saja yang mampu merubah manusia gips).Para pemimpin negeri ini rata-rata di usia manusia gips.Maka: Indonesia ...yang lebih baik, cenderung jadi mimpi. Sebab, mereka lebih banyak yang jelek ketimbang yang baik.

KAKI YANG BERAT

The Mirror : KAKI YANG BERAT
Ada 2 jenis manusia dalam menghadapi kepengapan hidup: 1) ketika kaki terasa berat melangkah, ia berhenti, mengeluh, atau melemparkan kekesalan ke segenap penjuru, 2) ketika kaki semakin berat, ia tersenyum, sebab ia tahu jalan hidupnya justru sedang menanjak. Silakan pilih ingin jadi yang... pertama atau kedua. Itu hak "prerogatif" Anda masing-masing. (Bukan Cuma SBY yang punya hak itu).
See More
10 hours ago · ·

Minggu, 31 Oktober 2010

MEMBERI TANPA PERTIMBANGAN

The Mirror:MEMBERI TANPA PERTIMBANGAN
Pesan moralnya:“Menarilah seolah tak seorangpun menonton.Menyanyilah seolah tak seorangpun mendengarkan.Bekerjalah seolah tak memerlukan uang/jabatan.Cintailah seolah tak pernah disakiti. Wakililah rakyat seolah bukan simpatisan/anggota partai manapun.Berpolitiklah seolah tak lagi punya kepentingan. Memimpinlah seolah tak lagi memerlukan sebuah kekuasaan.” (HT,Kompas,23/5/09)

Dua Mbah di Negeri Bencana

The Mirror : Kita pernah punya dua Mbah yang luarbiasa : Mbah Surip dan Mbah Marijan !
Kedua manusia uzur yang sudah almarhum itu telah membuktikan bahwa
mereka mampu menjalani hidupnya secara jantan dan penuh makna. Hidup
yang punya nilai ! Indonesia butuh banyak manusia muda dengan kualitas
seperti kedua Mbah itu !

Kegesitan Rakyat

The Mirror : Ketulusan hati seseorang diukur oleh spontanitasnya dalam melakukan hal-hal positif. Itu sebabnya rakyat jauh lebih gesit dalam mengulurkan tangan, merogoh kocek, mulai dari seniman, musisi, rakyat biasa, .....untuk semua saudara korban di Wasior, Mentawai dan Merapi. Rakyat jauh lebih sigap berbuat diband...ing pejabat atau pemimpin, yang spontanitasnya digayuti beban-beban pencarian citra dan kekuasaan.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Air Mata Presiden

 The Mirror : Wasior, Mentawai, Merapi, .....dan air mata SBY menetes ...........Semoga air mata seorang presiden mampu meluruhkan kemarahan alam sekitar. Sebab hanya itu pertahanan terakhir yang dimiliki sang presiden.

Kepemimpinan di Republik Bencana

Artikel ini saya tulis di Kompas  4 tahun yang lalu:

Kepemimpinan di Republik Bencana
Oleh: Herry Tjahjono
Kompas, 3 Juli 2006
 Salah satu konsep kepemimpinan tradisional yang sederhana menyebutkan, kepemimpinan adalah "seni bersikap dalam memutuskan".
Sikap itu mengandung tiga komponen; cipta, rasa, dan karsa. Implikasinya, pedoman sukses kepemimpinan cuma ada tiga; 1) memutuskan (dari aspek cipta), 2) memutuskan (dari aspek rasa), dan 3) memutuskan (dari aspek karsa).
Bencana
Isu soal kepemimpinan (nasional) kembali disinggung, kaitannya dengan berbagai "bencana nasional" yang melanda negeri ini. Singkatnya, ada dua jenis bencana; 1) bencana alam, 2) bencana "non-alam", mulai dari kemiskinan, pengangguran, penggusuran, korupsi, ketidakadilan, konflik dan kekerasan, anarkisme kelompok, dan seterusnya.
Jenis bencana pertama (alam), ada di luar kontrol kita (uncontrollable). Tetapi bencana jenis kedua, secara manusiawi ada dalam kendali kita (controllable). Dan, jangan lupa, mulai dari kemiskinan, penggusuran, dan seterusnya, sudah layak disebut bencana (non-alam). Mengapa? Karena di era kepemimpinan sekarang, secara psikologis masih pada tahap pemenuhan basic needs (sandang, pangan, papan) belakangan mulai keseleo lidah dan obsesif mengatakan, "Ternyata masih enak di zaman Soeharto, setidaknya; sandang-pangan-papan tidak sampai telantar seperti ini", sebuah regresi emosional.
Dinamika uraian itulah yang sekali lagi, membuat isu "kepemimpinan (nasional)" layak dibicarakan lagi. Pemilihan seorang pemimpin tentu disertai segunung harapan dan diharapkan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kenyataannya?
Jadi, "sikap" (cipta-rasa-karsa) dalam mengambil keputusan menjadi substansi wacana kepemimpinan. Artinya, selama seorang pemimpin mampu mengambil sikap tepat saat akan mengambil keputusan pemerintahannya, maka kepemimpinannya akan efisien dan efektif.
Pertama, pedoman memutuskan secara "cipta"! Ini terkait aspek kognitif, berbau rasional. Bicara soal proses pengambilan keputusan (decision making process), maka aspek "prioritas" adalah penting. Jika untuk memilih skala prioritas saja tidak mampu, sikap yang diambil saat memutuskan akan tidak tepat. Misalnya, ketika proses pembentukan kabinet, baik di awal pemerintahan maupun saat reshuffle—skala prioritas yang diambil sudah melenceng. Hanya ada dua prioritas, politik dan profesionalisme.
Kedua, pedoman memutuskan secara "rasa" ! Pedoman ini terkait aspek afeksi, yang dalam konteks ini bermuara pada "suara hati". Rasa kepemimpinan yang dipandu (suara) hati. Kedewasaan dan otonomi "rasa kepemimpinan" seorang pemimpin amat dipengaruhi suara hati. Ketika tahapan ini tercapai, seorang pemimpin akan menjadi character leader, mampu memilih dan memutuskan hal-hal esensial secara bebas dan otonom sesuai suara hatinya tanpa terpengaruh unsur eksternal yang sensasional. Maka, lawan pemimpin berkarakter adalah pemimpin populis. Pemimpin berkarakter suka yang esensial, pemimpin populis lebih ke hal-hal sensasional.
Ketiga, pedoman memutuskan secara "karsa"! Pedoman terakhir ini bermuara pada kehendak seorang pemimpin. Karena pedoman mengambil keputusan yang pertama dan kedua kurang terpenuhi secara baik, maka pedoman karsa sering "jalan di tempat" dan ujungnya jadi serba terlambat dan salah arah. Contoh nyata adalah soal ormas-ormas anarkis. Keraguan dan kelambanan mengakibatkan prinsip "padamkan api sebelum membesar" tak dijalani. Kini "api" sudah membesar susah dipadamkan. Kini, bahkan "wacana" untuk membubarkannya pun sudah menjadi api besar (polemik tak karuan juntrungnya).
Faktor kepemimpinan
Tentu ada banyak contoh lain terkait seni bersikap dalam memutuskan pada pemimpin kita. Yang perlu dipahami, harapan rakyat masih digantungkan di pundak mereka. Dan, di hari-hari ini, kita telah hidup di sebuah "republik bencana".
Bencana alam kita hadapi dengan doa, pertobatan, dan kewaspadaan. Tetapi bencana non-alam, kita bisa mengendalikannya, melalui kepemimpinan yang dilandasi cipta, rasa, dan karsa yang tepat. Kepemimpinan di republik bencana memang bukan segalanya, tapi tanpa hal itu, segalanya juga bukan apa-apa.
Herry Tjahjono
Corporate HR Director & Corporate Culture Therapist, Jakarta


Isu soal kepemimpinan (nasional)…, kaitannya dengan berbagai "bencana nasional" yang melanda negeri ini. Ada dua jenis bencana; 1) bencana alam, 2) bencana "non-alam", mulai dari kemiskinan, pengangguran, penggusuran, korupsi, ketidakadilan, konflik dan kekerasan, anarkisme kelompok, dan seterusnya. Jenis bencana pertama (alam), ada di luar kontrol kita (uncontrollable). Tetapi bencana jenis kedua, secara manusiawi ada dalam kendali kita (controllable).
.. membuat isu "kepemimpinan (nasional)" layak dibicarakan lagi. Pemilihan seorang pemimpin tentu disertai segunung harapan dan diharapkan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kenyataannya?

Rabu, 27 Oktober 2010

Melihat Lebih Jauh

oleh: Herry Tjahjono
Ada dua kisah nyata inspiratif yang akan saya adaptasi. Pertama tentang seorang tukang pipa (plumber). Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Cerita belum tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.
Kisah lain. Ada juga kisah dari teman saya, James Gwee, tentang Mr Lim yang sudah tua dan bekerja ”hanya” sebagai door checker (memeriksa engsel pintu kamar hotel) di sebuah hotel berbintang lima di Singapura. Puluhan tahun ia jalankan pekerjaan membosankan itu dengan sungguh- sungguh, tekun, dan sebaik-baiknya. Ketika ditanya apakah ia tak bosan dengan pekerjaan menjemukan itu, Mr Lim mengatakan, yang bertanya adalah orang yang tidak mengerti tugasnya. Bagi Mr Lim, tugas utamanya bukanlah memeriksa engsel pintu, tetapi memastikan keselamatan dan menjaga nyawa para tamu. Dijelaskan, mayoritas tamu hotelnya adalah manajer senior dan top manajemen. Jika terjadi kebakaran dan ada engsel pintu yang macet, nyawa seorang manajer senior taruhannya. Jika ia meninggal, sebagai decision maker, perusahaannya akan menderita. Jika perusahaannya menderita dan misalnya bangkrut, sekian ribu karyawannya akan menderita. Belum lagi keluarganya, termasuk anak istri manajer itu.
Demikian jauh pandangan Mr Lim, dan ia bukan sekadar door checker. Beberapa pelajaran Christopher L Jr dan Mr Lim relatif manusia sejenis. Keduanya bukan kelas manusia sedang atau biasa (good people). Mereka jenis ”manusia besar atau manusia berlebih” (great people) meski jabatan atau pekerjaan formal di suatu saat demikian ”rendah dan biasa saja”. Sikap mental mereka jauh lebih tinggi dari jabatan dan pekerjaan formalnya.
Dua kisah itu memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, untuk menjadi manusia besar tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan teknis seseorang mengerjakan tugasnya. Kemampuan dan kompetensi teknis (hard competence) boleh sama atau biasa saja, tetapi sikap mental atau soft competence yang lebih akan menentukan seseorang menjadi manusia besar atau tidak. Kedua, untuk bisa mempunyai soft competence dimaksud, kita perlu berontak dan bangun dari tidur panjang selama ini, keluar dari zona nyaman good. Sebagai manusia minimalis, pekerja atau pemimpin apa adanya (yang penting job description dijalankan), target kerja atau key performance indicator (KPI) tercapai, beres! Itulah tipikal manusia biasa saja. Upaya ini memerlukan pengorbanan diri sebab hanya dengan menjadi good people seperti selama ini saja, toh tak ada yang mengusik kita, tetap bisa bekerja dengan nyaman, dan seterusnya. Maka, pemberontakan untuk bebas dari kondisi good people itu harus dari diri sendiri dulu. Ingat petuah Jim Collins, good is the enemy of great. Ketiga, langkah lebih konkret selanjutnya adalah sikap mental untuk ”melihat lebih”! Christopher L Jr plumber yang ingin memastikan kliennya nyaman dan selamat. Mr Lim door checker yang ingin menjamin tamu hotelnya terjaga nyawanya dari bahaya kebakaran. Melihat lebih jauh, beyond the job! Keempat, setelah mampu melihat lebih, barulah kita mampu ”memberi lebih” (giving more). Hanya dengan melihat lebih dan memberi lebih, kita mampu menjadi manusia besar yang tidak hanya bekerja sebatas KPI. Kita akan mampu bekerja dengan memberikan key values indicator (KVI), nilai-nilai lebih, mulia, unggul, berguna bagi setiap pengguna atau penikmat hasil kerja kita. Itulah Christopher L Jr dan Mr Lim. Rindu pemimpin besar Betapa bangsa ini rindu seorang pemimpin hasil pemilu yang layak disebut pemimpin besar, great leader. Mereka yang kini sedang giat berkompetisi dan perang iklan dengan saling sorot KPI masing-masing. Perhatikan dengan saksama, maka segenap janji kampanye, termasuk realisasinya, konteksnya masih sebatas pemenuhan KPI. Ini berlaku baik bagi yang masih berkuasa maupun mantan dan juga calon yang baru. Semua bicara tentang KPI kepemimpinan, belum menyentuh KVI kepemimpinan. Para pemimpin dan bahkan kita semua demikian bangga dan terpesona sendiri saat mampu memenuhi ”KPI kehidupan” kita masing-masing, yang biasanya memang bersifat kuantitatif, materiil, dan mudah diukur. Padahal, untuk menjadi great people, great leader, great father, great manager, dan seterusnya, lebih diperlukan kemampuan mempersembahkan ”KVI kehidupan” kita, yang biasanya justru tidak mudah diukur. Bangsa ini sangat memerlukan Christoper L Jr dan Mr Lim sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Sebagai catatan akhir, seorang office boy yang mampu mempersembahkan KVI nilainya tak kalah dengan seorang CEO yang hanya memberikan KPI-nya. Jika kita ”mau” melihat lebih jauh, kita akan ”mampu” melangkah lebih jauh.
Herry Tjahjono
Corporate Culture Therapist & President The XO Way, Jakarta

Minggu, 24 Oktober 2010

Masa Indah Kanak-kanak Sang Pemimpin

Mengamati perkembangan kepribadian para pemimpin kita, sangatlah mengasyikkan, terutama secara psikologis. Dari sudut psikologi perkembangan, ada tugas-tugas perkembangan yang wajib dilewati oleh seorang manusia, sejak dia bayi, kanak-kanak, remaja, dan seterusnya. Demikian juga secara analogis, ada tugas-tugas perkembangan (politis) yang wajib dilewati oleh para pemimpin dalam seluruh perjalanan kehidupan politiknya.

Membahas kepemimpinan nasional yang ada sekarang, baik mereka yang ada di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, akan tampak, ada dinamika perkembangan politis yang menarik. Nyaris semua pemimpin nasional sekarang (yang usia biologisnya rata-rata 50 sampai 60 tahun), ketika Soeharto menancapkan rejim otoriter dan represif sekitar 35 tahun lalu, secara "umur politis", mereka semua masih dalam tahap perkembangan masa kanak-kanak.
Secara biologis, mereka waktu itu mungkin sudah remaja atau paskaremaja (15-25 tahun), tapi sekali lagi, secara analogis, umur politis mereka barulah di tahap masa kanak-kanak. Pola kepemimpinan Soeharto yang cenderung "mensterilkan" mereka dari dunia politis, bahkan sebagian besar pemimpin sekarang – yang waktu itu awalnya para aktivis idealis pendobrak rejim Soekarno - "disterilkan" (dininabobokan, dijinakkan) dengan segala macam hedonisme politis; ada yang dimasukkan sebagai anggota DPR-GR, dan seterusnya.
Salah satu karakteristik pokok tugas perkembangan kanak-kanak adalah dimensi permainan (games). Dengan sterilisasi dan nina bobok (plus pengawasan) Soeharto, masa kanak-kanak itu demikian nikmat dengan segenap permainannya. Soeharto seolah berkata: nikmati saja masa kanak-kanak kalian dengan segenap permainan (politis) yang kuberikan, tak usah pusing dengan segenap trik dan intrik politik riil.
Ibarat anak yang oleh orangtuanya diberi keleluasaan menikmati dunia kanak-kanak dengan keindahan permainannya, mereka itu tak perlu ikut pusing memikirkan ruwetnya urusan rumah tangga.
Ketika Soeharto telah berkuasa nyaris dua dasa warsa, sampailah dia di puncak kejayaannya. Di sisi lain, usia biologis mereka rata-rata telah 35 – 45 tahun; dan secara analogis, usia politis mereka telah memasuki tahap remaja. Mulailah timbul masalah, sebab pada saat itu, Soeharto mencapai puncak totaliterismenya.
PADAHAL, di masa itu, ada yang namanya "storm period" - dinamika kejiwaan menggelegak, yang membutuhkan kesempatan penyaluran dan pengelolaan yang tepat. Periode itu juga meliputi tugas-tugas perkembangan : (1) gaining a sense of identity – dan realitasnya, semua identitas politis yang ingin mereka capai ditutup sedemikian rupa, akibatnya – menimbulkan kebingungan peran-peran (politis), (2) learning independence – proses belajar untuk mandiri juga tak berkembang, semua kapasitas kepemimpinan politis dibuat serba tergantung kepada sang jenderal. Kita tentu masih ingat, hampir semua orang pada dimensi politik waktu itu serba berbudaya "mohon petunjuk" dan tergantung pada sentral kekuasaan, (3) extending integrating values – proses eksplorasi nilai-nilai moral (politis) dimanipulasi sedemikian rupa, mengikuti sang patron dengan segala prinsip tujuan menghalalkan cara (KKN, misalnya).
Semua tugas perkembangan itu relatif gagal dilewati, akibat totaliterisme rejim Soeharto. Masa remaja politis yang mengenaskan, setidaknya dibanding masa kanak-kanak politis yang lebih indah.
Ketika Soeharto lengser pada tahun 1998, dan pada saat yang sama, mereka itu ( yang kini berada di puncak-puncak kepemimpinan nasional) sudah memasuki usia dewasa politis (secara biologis memasuki usia rata-rata 50 tahun ke atas). Kegagalan atas tiga tugas perkembangan masa remaja politis tersebut, membawa simtom-simtom tertentu di masa dewasa politis. Jika kita mengadaptasi Laventhal, simtom itu sebagai berikut.
Pertama, timbulnya kebingungan (politis). Kita melihat bagaimana para pejabat atau pemimpin eksekutif bingung melaksanakan peran (pragmatisme) eksekutifnya dengan layak, sedangkan mereka yang di DPR juga tak jelas menjalankan peran (idealisme) legislatifnya secara baik.
Kedua, ketidakpercayaan diri (politis). Ini muncul dalam berbagai bentuk ketidakmampuan dan ketidakmandirian dalam mengelola segenap konflik demi kepentingan lebih besar. Ketidakpercayaan diri itu juga mengejawantah dalam berbagai kecenderungan untuk berkelompok, berkomplot, trik dan intrik berkolusi, untuk saling sikut demi keamanan diri sendiri (dan kelompok).
Ketiga, kecemasan (politis). Ini muncul akibat inner conflict, benturan nilai-nilai diri sebagai manusia biasa dengan perilaku politik yang telanjur serba terkondisi oleh sang patron yakni rejim lama (misal; KKN). Kecemasan politik mereka kompensasikan dalam bentuk serba "gaduh politik" (tanpa alasan jelas) dan "sensasi politik" (tanpa esensi). Tentu secara tak sadar, ini dimaksudkan untuk menutupi kecemasan (politisnya).
Pertanyaan-pertanyaan yang sering menghantui mereka (dengan adanya ketiga simtom tersebut) misalnya; "apakah saya bisa lebih lama mempertahankan kekuasaan ini (di dimensi apa pun)?", atau "apakah saya bisa mencapai (baca: mendapatkan) kekuasaan orang atau kelompok itu," dan seterusnya?
DALAM konsep psikologi perkembangan, semua fenomena semacam itu, sadar atau tidak, akan membenturkan seseorang kepada kondisi frustrasi di masa dewasa (politisnya). Salah satu reaksinya, yang sesuai konteks tema ini adalah terjadinya "regresi" (politis). Regresi yang dimaksud adalah kembali pada satu fase perkembangan di mana seseorang berhasil mendapatkan kepuasan.
Tak pelak lagi, para pemimpin itu – yang sesungguhnya frustrasi akibat mengalami kegagalan berbagai tugas perkembangan masa remaja dan dewasa politis – melakukan proses regresi, dan kembali ke fase atau tahap yang memuaskan mereka, yakni masa kanak-kanak politis , yang penuh dengan nuansa keindahan permainan.
Maka, segenap "gaduh dan sensasi" politik belakangan ini, seperti pada kasus R&D dan kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan telepon, merupakan bagian proses regresi politis mereka. Kasus R&D, ramai-ramai diprotes rakyat, pemerintah ngotot, DPR ikut bersuara, semua ngotot sampai ada "inpres R & D", belakangan ditunda, dan seterusnya. Kasus kenaikan harga dan tarif, diprotes sampai ribut-ribut, DPR awalnya adem-ayem, pemerintah ngotot, rakyat makin panas, pemerintah tetap ngotot, DPR mulai tampil dengan gagah lewat rapat konsultasi, lalu pemerintah mulai menunda kenaikan telepon, meninjau ulang yang BBM dan TDL, dan seterusnya.
Semua itu dimunculkan dalam kegaduhan, kehiruk-pikukan. Meriah! Dan, para pemimpin memperoleh kepuasan "masa kanak-kanaknya", sementara rakyat ternganga-nganga.
Masih seabreg "gaduh dan sensasi" politik di republik ini, yang semuanya bermuara pada "permainan"; dan ... ada regresi di sana. Sepintas, kembang demokrasi mekar harum di kasus-kasus R & D dan kenaikan harga-tarif. Seolah-olah hingar bingar demokrasi itu berbuah ranum karena pada ujungnya toh pemerintah "mendengarkan" DPR (baca: rakyat); pemerintah mau mengalah dan obyektif, dan ini ditunjukkan dengan berbagai perubahannya.
DPR-pun, yang semula melempem, tiba-tiba di tengah jalan tampil bak pahlawan bagi rakyat. Padahal, tidak ada esensi (kerakyatan), kecuali hanya sensasi demi permainan yang mereka nikmati seperti indahnya permainan di masa kanak-kanak politis.
Itulah refleksi frustrasi kepemimpinan nasional. Urusan republik sebesar ini dengan rakyat ratusan juta, dikelola dengan berbagai kebijakan yang serba trial and error begitu saja; sementara harga-harga keburu naik, R & D makin menikam rasa keadilan rakyat, ongkos sosial yang tinggi. Apa namanya semua itu, kalau bukan "indahnya permainan (politis) akibat regresi politis para pemimpin bangsa kita"?
Sampai 2004, mengingat regresi politis yang menghinggapi kepemimpinan nasional, hanya permainan demi permainanlah yang bisa kita tonton. Tampaknya, kita perlu menoleh pada generasi lebih muda, yang sejak sekarang masih bisa kita siapkan serta kelola tahap dan tugas perkembangan politisnya.
Ya sejak sekarang; agar mereka, dari dini bisa melaksanakan apa dikatakan Napoleon Hill: "When you work, work, when you play, play. Don’t get the two mixed up!"  ►Kompas Selasa, 04 Februari 2003