Ketika Jim Collins melakukan penelitian untuk bukunya yang fenomenal Good to Great, ia memberikan pesan tegas kepada sekitar 20 orang asistennya : untuk tidak terlalu mempertimbangkan kepemimpinan sebagai faktor penentu sukses perusahaan atau organisasi. Collins sadar betul, bahwa wacana kepemimpinan ini sering disimplifikasi sedemikian rupa, kalau perusahaan sukses, ya itu karena peran pemimpinnya, pun jika terjadi sebaliknya.
Namun pesan Collins itu ternyata tak berjalan sebagaimana mestinya, sebab setelah melalui proses analisa sintesa sedemikain banyak data dengan metodologi yang ilmiah, muaranya tetap ditemukan bahwa kepemimpinan merupakan faktor yang krusial dan penting dalam menentukan sukses gagalnya organisasi atau perusahaan. Dan pada hampir semua perusahaan sukses (great) yang diteliti, mereka menemukan – di antara beberapa faktor lain – para pemimpin hebat itu ternyata memiliki faktor dominan yang disebut kerendahan hati (personal humility). Para pemimpin hebat inilah yang oleh Collins disebut pemimpin tingkat lima.
Di sisi lain kita tahu, secara sederhana dan kontekstual – konsep kepemimpinan yang baik biasanya diukur dari tiga aspek utama : proses kepemimpinan, hasil kepemimpinan, dan ambisi kepemimpinan. Tiga aspek itulah yang menentukan kualitas kepemimpinan seseorang.
Implikasi penemuan Collins tersebut sangat menarik jika dikaitkan dengan kondisi “organisasi” Indonesia dan faktor kepemimpinan yang ada. Orang cenderung mengukur kerendahan hati dari aspek fisikal atau eksternal: cara berpenampilan, barang-barang yang dimiliki, sikap, pola reaksi dan perilaku dan seterusnya. Itu tidak salah, namun sesungguhnya semua aspek fisikal atau external factor itu sekadar cerminan sesuatu yang lebih dalam dari kerendahan hati yang disebut kualitas diri. Dan kualitas diri inilah yang akan menentukan kualitas kepemimpinan.
Secara kontekstual, pusat dari kerendahan hati ternyata bermuara pada prinsip diri yang disebut altruisme – prinsip pengorbanan. Kita kembali pada aspek fisikal atau eksternal para pemimpin kita, mulai dari kegemaran para wakil rakyat untuk “pelesiran” studi banding ke luar negeri dengan uang rakyat, membangun kantor (proyek mercu suar) senilai trilyunan rupiah juga pakai uang rakyat. Itu semua ekspresi dari kualitas diri yang berlawanan dengan kerendahan hati, yakni : ketinggian hati atau kesombongan diri. Perilaku semau gue para wakil rakyat sebagai refleksi dari prinsip kesombongan diri atau tinggi hati : saya bisa melakukan apa pun yang saya mau. Kesombongan yang semata-mata terpusat pada diri sendiri. Demikian juga sifat-sifat populis pemimpin eksekutif, semuanya refleksi dari kesombongan diri, ketinggian hati yang sekaligus narsis.
Mengadaptasi kembali penelitian Collins, prinsip altruisme cerminan kerendahan hati itu terefleksikan pada tiga aspek kerja beberapa aspek kepemimpinan utama : 1) Proses kerja, para pemimpin tingkat lima ini cenderung melaksanakan tugas kewajibannya, menunaikan dharma baktinya dengan diam-diam, tidak pernah gembar-gembor, menghindari sorotan publik, tidak mencari perhatian dan sanjungan. Sekali lagi, bandingkan dengan pemimpin kita yang suka populis (termasuk “curhat” sudah kerja keras selama dua puluh empat jam), wakil rakyat yang sukanya bikin heboh dan hingar-bingar, dan seterusnya. Dan inti atau pusat dari kualitas proses kerja para pemimpin hebat atau tingkat lima tersebut tak lain adalah semangat pengorbanan. Mereka siap untuk tidak kelihatan, diam-diam , yang penting bekerja dan menjalankan tugas kepemimpinannya.
2) Hasil kerja, para pemimpin tingkat lima atau pemimpin hebat (great leaders) tersebut juga punya kualitas diri mengagumkan terkait out put kepemimpinannya. Jika mereka berhasil melakukan sesuatu yang hebat, maka penghargaan atau kredit itu justru diberikan kepada orang lain di luar dirinya, baik itu pengikut, pembantunya, atau tim kerjanya. Sebaliknya, bila terjadi kelemahan atau bahkan kegagalan, mereka menerima dan mengambilnya sebagai tanggung-jawab pribadi, dan tak pernah melemparkannya kemana-mana mencari kambing hitam, dan 3) Ambisi kerja, semata-mata tertuju pada kebesaran dan kelangsungan hidup organisasi (perusahaan) yang dipimpinnya, bukan kepentingan pribadi, kelompok atau partainya sendiri.
Sekarang bisa dilihat lebih konkret, pusat atau inti dari kualitas kerendahan hati para pemimpin hebat itu – baik menyangkut proses, hasil dan ambisi kepemimpinan - semuanya bermuara pada prinsip altruisme, pengorbanan diri. Dan sekaligus kita paham, betapa para pemimpin kita selama ini justru mengisi tiga aspek kepemimpinannya (proses, hasil, ambisi) dengan prinsip yang berkebalikan dengan altruisme, yakni : egoisme. Karena itu jangan heran jika model kepemimpinan yang mewarnai pentas kepemimpinan tanah air adalah yang self centered dan narsis.
Seperti dikatakan pakar kepemimpinan Bob Moawad : untuk menjadi pemimpin besar, seseorang tidak bisa terpusat pada dirinya sendiri. Semakin besar kepemimpinannya, seharusnya semakin rendah kadar self centered yang dimiliki. Bahkan menurut Bob Moawad, pemimpin besar sama sekali tidak bicara tentang pemimpin itu sendiri (great leadership is really not about the leader at all–not his or her recognition, promotion, or preeminence).
Jika melihat semua uraian di atas dan mengamati sepak terjang para pemimpin kita selama ini - sadarlah kita : betapa tidak mudahnya memilih pemimpin di negeri ini.
Namun pesan Collins itu ternyata tak berjalan sebagaimana mestinya, sebab setelah melalui proses analisa sintesa sedemikain banyak data dengan metodologi yang ilmiah, muaranya tetap ditemukan bahwa kepemimpinan merupakan faktor yang krusial dan penting dalam menentukan sukses gagalnya organisasi atau perusahaan. Dan pada hampir semua perusahaan sukses (great) yang diteliti, mereka menemukan – di antara beberapa faktor lain – para pemimpin hebat itu ternyata memiliki faktor dominan yang disebut kerendahan hati (personal humility). Para pemimpin hebat inilah yang oleh Collins disebut pemimpin tingkat lima.
Di sisi lain kita tahu, secara sederhana dan kontekstual – konsep kepemimpinan yang baik biasanya diukur dari tiga aspek utama : proses kepemimpinan, hasil kepemimpinan, dan ambisi kepemimpinan. Tiga aspek itulah yang menentukan kualitas kepemimpinan seseorang.
Implikasi penemuan Collins tersebut sangat menarik jika dikaitkan dengan kondisi “organisasi” Indonesia dan faktor kepemimpinan yang ada. Orang cenderung mengukur kerendahan hati dari aspek fisikal atau eksternal: cara berpenampilan, barang-barang yang dimiliki, sikap, pola reaksi dan perilaku dan seterusnya. Itu tidak salah, namun sesungguhnya semua aspek fisikal atau external factor itu sekadar cerminan sesuatu yang lebih dalam dari kerendahan hati yang disebut kualitas diri. Dan kualitas diri inilah yang akan menentukan kualitas kepemimpinan.
Secara kontekstual, pusat dari kerendahan hati ternyata bermuara pada prinsip diri yang disebut altruisme – prinsip pengorbanan. Kita kembali pada aspek fisikal atau eksternal para pemimpin kita, mulai dari kegemaran para wakil rakyat untuk “pelesiran” studi banding ke luar negeri dengan uang rakyat, membangun kantor (proyek mercu suar) senilai trilyunan rupiah juga pakai uang rakyat. Itu semua ekspresi dari kualitas diri yang berlawanan dengan kerendahan hati, yakni : ketinggian hati atau kesombongan diri. Perilaku semau gue para wakil rakyat sebagai refleksi dari prinsip kesombongan diri atau tinggi hati : saya bisa melakukan apa pun yang saya mau. Kesombongan yang semata-mata terpusat pada diri sendiri. Demikian juga sifat-sifat populis pemimpin eksekutif, semuanya refleksi dari kesombongan diri, ketinggian hati yang sekaligus narsis.
Mengadaptasi kembali penelitian Collins, prinsip altruisme cerminan kerendahan hati itu terefleksikan pada tiga aspek kerja beberapa aspek kepemimpinan utama : 1) Proses kerja, para pemimpin tingkat lima ini cenderung melaksanakan tugas kewajibannya, menunaikan dharma baktinya dengan diam-diam, tidak pernah gembar-gembor, menghindari sorotan publik, tidak mencari perhatian dan sanjungan. Sekali lagi, bandingkan dengan pemimpin kita yang suka populis (termasuk “curhat” sudah kerja keras selama dua puluh empat jam), wakil rakyat yang sukanya bikin heboh dan hingar-bingar, dan seterusnya. Dan inti atau pusat dari kualitas proses kerja para pemimpin hebat atau tingkat lima tersebut tak lain adalah semangat pengorbanan. Mereka siap untuk tidak kelihatan, diam-diam , yang penting bekerja dan menjalankan tugas kepemimpinannya.
2) Hasil kerja, para pemimpin tingkat lima atau pemimpin hebat (great leaders) tersebut juga punya kualitas diri mengagumkan terkait out put kepemimpinannya. Jika mereka berhasil melakukan sesuatu yang hebat, maka penghargaan atau kredit itu justru diberikan kepada orang lain di luar dirinya, baik itu pengikut, pembantunya, atau tim kerjanya. Sebaliknya, bila terjadi kelemahan atau bahkan kegagalan, mereka menerima dan mengambilnya sebagai tanggung-jawab pribadi, dan tak pernah melemparkannya kemana-mana mencari kambing hitam, dan 3) Ambisi kerja, semata-mata tertuju pada kebesaran dan kelangsungan hidup organisasi (perusahaan) yang dipimpinnya, bukan kepentingan pribadi, kelompok atau partainya sendiri.
Sekarang bisa dilihat lebih konkret, pusat atau inti dari kualitas kerendahan hati para pemimpin hebat itu – baik menyangkut proses, hasil dan ambisi kepemimpinan - semuanya bermuara pada prinsip altruisme, pengorbanan diri. Dan sekaligus kita paham, betapa para pemimpin kita selama ini justru mengisi tiga aspek kepemimpinannya (proses, hasil, ambisi) dengan prinsip yang berkebalikan dengan altruisme, yakni : egoisme. Karena itu jangan heran jika model kepemimpinan yang mewarnai pentas kepemimpinan tanah air adalah yang self centered dan narsis.
Seperti dikatakan pakar kepemimpinan Bob Moawad : untuk menjadi pemimpin besar, seseorang tidak bisa terpusat pada dirinya sendiri. Semakin besar kepemimpinannya, seharusnya semakin rendah kadar self centered yang dimiliki. Bahkan menurut Bob Moawad, pemimpin besar sama sekali tidak bicara tentang pemimpin itu sendiri (great leadership is really not about the leader at all–not his or her recognition, promotion, or preeminence).
Jika melihat semua uraian di atas dan mengamati sepak terjang para pemimpin kita selama ini - sadarlah kita : betapa tidak mudahnya memilih pemimpin di negeri ini.
0 komentar:
Posting Komentar